Kata pengantar
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin,
banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala
puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Makalah Adat Istiadat Pernikahan
Bugis Bone”.
Dalam penyusunannya,
penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap keluarga
besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang
begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa
memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis
berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu
ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar skripsi ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Watampone, 11 Februari 2014
Penyusun
Aulyardha
Anindita
DAFTAR ISI
Kata
pengantar……………………………………………………………. 1
Daftar
Isi………………………………………………………………….. 2
Bab
1 Pendahuluan……………………………………………………….. 3
Bab
2 Pembahasan……………………………………………………….. 4-9
Bab
3 Penutup……………………………………………………………. 10
Daftar
pustaka…………………………………………………………… 11
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan
perkembangan zaman, sentuhan tekhnologi modern telah mempengaruhi dan menyentuh
masyarakat Bugis Bone, namun kebiasaan-kebiasaan yang merupakan tradisi turun
menurun bahkan yang telah menjadi Adat masih sukar untuk dihilangkan. Kebiasan-kebiasaan
tersebut masih sering dilakukan meskipun dalam pelaksanaannya telah mengalami
perubahan, namun nilai-nilai dan makna masih tetap terpelihara dalam setiap
upacara tersebut.
Ada dua tahap dalam proses pelaksanaan upacara perkawinan
masyarakat Bugis Bone yaitu, tahap sebelum dan sesudah akad perkawinan. Bagi
masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, masyarakat Bugis Bone khususnya
menganggap bahwa upacara perkawinan merupakan sesuatu hal yang sangat sakral,
artinya mengandung nilai-nilai yang suci.
Terdapat
bagian-bagian tertentu pada rangkaian upacara tersebut yang bersifat
tradisional. Dalam sebuah pantun Bugis (elong) dikatakan : Iyyana kuala
sappo unganna panasae na belo kalukue. Yang artinya Kuambil sebagai pagar
diri dari rumah tangga ialah kejujuran dan kesucian. Dalam kalimat tersebut
terkadung arti yang sangat penting dalam menjalankan suatu perkawinan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa dan
bagaimana tahap – tahap kegiatan perkawinan adat masyarakat bugis bone?
2.
Hal – hal apa
saja yang dilakukan pada upacara sebelum akad perkawinan?
3.
Hal-hal apa
saja yang dilakukan pada upacara setelah akad perkawinan?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
tahap-tahap kegiatan perkawinan adat masyarakat bugis bone.
2.
Mengetahui
hal-hal yang dilakukan pada upacara sebelum akad perkawinan.
3.
Mengetahui
hal-hal yang dilakukan pada upacara setelah akad perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tahap – Tahap Kegiatan Perkawinan Adat Masyarakat Bugis
Bone
Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis Bone yang disebut ”Appabottingeng
ri Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Kegiatan-kegiatan
tersebut merupakan rangkaian yang berurutan yang tidak boleh saling tukar
menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada masyarakat Bugis Bone yang
betul-betul masih memelihara adat istiadat.Pada masyarakat Bugis Bone sekarang
ini masih kental dengan kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang
sewajarnya dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna,
diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan abadi,
dan hubungan antar dua keluarga tidak retak.
Kegiatan – kegiatan tersebut meliputi :
1. Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya
melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan).
Maksudnya calon mempelai laki-laki melihat calon mempelai perempuan dengan cara
bertamu dirumah calon mempelai perempuan, apabila dianggap layak, maka akan
dilakukan langkah selanjutnya.
2. Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek
karena mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang
sudah betul-betul dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah dikenal akrab
oleh calon mempelai laki-laki.
3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang
datang mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang
pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan
orang tua si perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan
kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu
yang ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta
Mallino (duta resmi)
4. Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang
tersembunyi. Jadi Duta Mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki
kerumah perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang
telah dirintis sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.
Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga
terdekatnya serta orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran pada
waktu pelamaran. Setelah rombongan To Madduta (utusan) datang, kemudian
dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Dimulailah
pembicaraan antara To Madduta dengan To Riaddutai, kemudian pihak
perempuan pertama mengangkat bicara,lalu pihak pria menguitarakan maksud
kedatangannya.
Apa bila pihak perempuan menerima maka akan mengatakan ”Komakkoitu
adatta, srokni tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya bila demiokian
tekad tuan, kembalilah tuan, pelajarilah saya dan saya pelajari tuan, atau
dengan kata lain pihak perempuan menerima, maka dilanjutkan dengan pembicaraan
selanjutnya yaitu Mappasiarekkeng.
5. Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa
jua disebut dengan Mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama
mengikat janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis
sebelumnya.Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang
bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain :
a. Tanra esso (penentuan
hari)
b. Balanca (Uang belanja)/ menre doi (uang
naik)
c. Sompa (emas kawin) dan lain-lain
Setelah acara peneguhan Pappettuada selesai, maka para hadirin
disuguhi hidangan yang terdiri dari kue-kue adat Bugis yang pad umumnya
manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis (senang) dikemudian hari.
B. Upacara Sebelum Akad Perkawinan
Sejak tercapainya
kata sepakat, maka kedua belah pihak keluarga sudah dalam kesibukan. Makin
tinggi status sosial dari keluarga yang akan mengadakan pesta perkawinan itu lebih
lama juga dalam persiapan. Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan
menyampaikan kepada seluruk sanak keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan
oleh beberapa orang wanita dengan menggunakan pakaian adat. Perawatan
dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin . biasanya tiga malam
berturut-turt sebelum hari pernikahan calon pengantin Mappasau (mandi
uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang
digoreng samapai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah
acara Mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang
Penni.
Mappaccing berasal
dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri.
Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini
dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”. Melaksanakan
upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang
suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan
segalanya, termasuk : Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa
(bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan),
Mappaccing Ateka (bersih itikat).
Orang-orang yang
diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah
orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah
tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak
dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun
Pacci itu ditangannya. Dahulu
kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat
stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi
jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk golongan menengah 2 x 7 orang
”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7
orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam
jumlah orang yang akan melakukan acara ini. A’barumbung
(mappesau) Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita. Appasili
Bunting (Cemme Mapepaccing).
Kegiatan tata upacara
ini terdiri dari appasili bunting, a’bubu, dan appakanre bunting. Prosesi
appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa.
Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat
kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat
perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya.
Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A’bubu atau mencukur rambut halus di
sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya
agar dadasa atau hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita
dapat melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre
Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang
tua calon mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan
simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan
dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.
Prosesi Acara
Appassili :
Sebelum dimandikan,
calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di
dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke
tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang
dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat)
orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman,
prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan
oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang
berjumlah tujuh atau sembilan pasang.
Tata cara pelaksanaan
siraman adalah air dari pammaja/gentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh)
macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai
dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing figure yang
diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai,
acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air
wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya
calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.
A’bubbu’ (Macceko)
Setelah berganti
pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan
berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe, serta assesories
lainnya. Prosesi acara A’bubbu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut
atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis.
Appakanre bunting
Appakanre bunting
artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue - kue
khas tradisional bugis makassar, seperti Bayao nibalu, Cucuru’ bayao, Sirikaya, Onde - onde/ Umba - umba,
Bolu peca dan
lain - lain
yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah
besar yang disebut bosara lompo.
Akkorongtigi/Mappaci
Upacara
ini merupakan ritual pemakaian daun pacar ke tangan si calon mempelai. Daun
pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan
biasanya diadakan malam pacar atau Wenni Mappaci (Bugis) atau Akkorontigi
(Makassar) yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun
pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar
adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah
tangga langgeng dan bahagia. Malam mappaci dilakukan menjelang upacara
pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing calon mempelai. Acara
Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri
oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
Acara Akkorontigi
memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan
lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci
dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.
Perlengkapannya:
1. Pelaminan
(Lamming).
2. Bantal.
3. Sarung
sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal.
4. Bombong
Unti (Pucuk daun pisang).
5. Leko
Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang
secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar
secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar
6. Leko’
Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar)
yang ditumbuk halus.
yang ditumbuk halus.
7. Benno’
(Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak
hingga mekar
hingga mekar
8. Unti
Te’ne (Pisang Raja).
9. Ka’do’
Minnya’ (Nasi Ketan).
10. Kanjoli/Tai
Bani (Lilin berwarna merah).
Setelah prosesi
mappacci selesai, keesokan harinya mempelai laki-laki diantar kerumah mempelai
wanita untuk melaksanakan akad nikah (kalau belum melakukan akad nikah). Karena
pada masyarakat Bugis Bone kadang melaksanakan akad nikah sebelum acara
perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah Kawissoro. Kalau sudah
melaksanakan Kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara Mappasilukang dan
Makkarawa yang dipimpin oleh Indo Botting.
Upacara
akad nikah Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong (Akad
Nikah).Kegiatan
ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah telah ditata
dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan dan melaksanakan
prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan kedua calon mempelai.
Beberapa
persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga:
Keluarga Calon
Mempelai Wanita (CPW)
1. Dua
pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan memegang Lola menuntun CPP
memasuki rumah CPW.
memasuki rumah CPW.
2. Seorang
ibu yang bertugas menaburkan Bente (benno) ke CPP saat memasuki
gerbang kediaman CPW.
gerbang kediaman CPW.
3. Penerima
erang-erang atau seserahan.
4. Penerima
tamu.
Keluarga Calon
Mempelai Pria (CPP)
1. Petugas
pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:
a. Gadis-gadis
berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau
keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.
keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.
b. Petugas
pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan
kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1
buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, Dsb
kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1
buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, Dsb
2. Perangkat
adat, yang terdiri dari:
a. Seorang
laki-laki pembawa tombak.
b. Anak-anak
kecil pembawa ceret 3 orang.
c. Seorang
lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).
d. Remaja
pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).
e. Seorang
anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.
3. Calon mempelai Pria
4. Rombongan orang tua
5. Rombangan saudara kandung
6. Rombongan sanak
keluarga
7. Rombongan undangan.
Prosesi
acara Assimorong:
Setelah
CPP beserta rombongan tiba di sekitar kediaman CPP, seluruh rombongan diatur
sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika CPP telah siap di bawa
Lellu sesepuh dari pihak CPW datang menjemput dengan mengapit CPP dan
menggunakan Lola menuntun CPP menuju gerbang kediaman CPW. Saat tiba di gerbang
halaman, CPP disiram dengan Bente/Benno oleh salah seorang sesepuh dari
keluarga CPW. Kemudian dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan
penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu CPP beserta
rombongan memasuki kediaman CPW untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan
berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin CPW kepada kedua orang tua untuk
dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi Ijab dan Qobul.
Setelah
acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar mempelai wanita,
dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang dilanjutkan dengan appadongko
nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada
mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk
melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak
keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin
kawin, nasehat perkawinan, dan doa.
C. Upacara Setelah Akad Perkawinan
Setelah akad
perkawinan berlangsung, biasanya biadakan acara resepsi (walimah) dimana semua
tamu undangan hadir untuk memberikan doa restu dan sekaligus menjadi saksi atas
pernikahan kedua mempelai agar mereka tidak berburuk sangka ketika suatu saat
melihat kedua mempelai bermesraan.
Pada acara resepsi
tersebut dikenal juga yang namanya Ana Botting, hal ini dinilai mempunyai andil
sehingga merupakan sesuatu yang tidak terpisakhkan pada masyarakat bugis bone.
Sebenarnya pada masyarakat Bugis Bone, ana botting tidak dikenal dalam sejarah,
dalam setiap perkawinan kedua mempelai diapit oleh Balibotting dan Passepik,
mereka bertugas untuk mendampingi pengantin di pelaminan.
Ana Botting dalam
perkawinan merupakan perilaku sosial yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan
dan merupakan ciri khas kebudayaan orang Bugis pada umumnya dan orang Bugis
pada khususnya, karena kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan yang
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil kegiatan
manusia yang khas untuk suatu masyarakat aatu kelompok penduduk tertentu. Oleh karena
itu, Ana Botting merupakan kegiatan (perilaku) manusia yang dilaksanakan
oleh masyarakat Bugis Bone pada saat dilangsungkan perkawinan.
Assimorong/Menre’kawing
Acara ini merupakan
acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat
Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang
disebut Simorong (Makasar) atau Menre’kawing (Bugis). Di masa sekarang,
dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena
dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan
pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama
keluarga dan undangan.
Appabajikang Bunting
Prosesi ini merupakan
prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai, mempelai pria
diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar, pintu menuju
kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat
antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita.
Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa
(saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur
untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar
yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna
mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.
Alleka bunting
(marolla)
Acara ini sering
disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai
wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua
mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia balasan untuk
mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan
saudara-saudarany
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam acara perkawinan pada masyarakat Bugis Bone ada dua tahap dalam
proses pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Bugis Bone yaitu, tahap
sebelum dan sesudah akad perkawinan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan pada
umumnya, masyarakat Bugis Bone khususnya menganggap bahwa upacara perkawinan
merupakan sesuatu hal yang sangat sakral, artinya mengandung nilai-nilai yang
suci. Dalam upacara perkawinan adat
masyarakat Bugis Bone yang disebut ”Appabottingeng ri Tana Ugi”
terdiri atas beberapa tahap kegiatan.
Kegiatan – kegiatan tersebut meliputi :
1. Mattiro (menjadi tamu)
2. Mapessek-pessek (mencari informasi)
3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
4. Madduta mallino
5. Mappasiarekkeng
B. Saran
Adat istiadat merupakan sesuatu hal yang sangat berharga dalam suatu
kelompok masyarakat, olehnya itu penulis menyarankan agar setiap masyarakat
mempertahankan, menjaga dan memelihara adat istiadat tersebut agar tetap ada
sampai kapanpun.
makasih blok nya. bisa unttuk tugas sekolah.. i like it
ReplyDelete